Manila, Filipina — Ketegangan antara Filipina dan Tiongkok di Laut China Selatan kembali mencapai titik kritis. Pada Jumat malam (11/7), kapal penjaga pantai kedua negara nyaris terlibat bentrokan fisik di dekat perairan Second Thomas Shoal, wilayah yang diklaim oleh kedua negara.

Insiden tersebut terjadi saat kapal militer Filipina melakukan misi logistik untuk pasokan makanan dan air ke pasukannya yang ditempatkan di BRP Sierra Madre, kapal perang tua yang sengaja ditambatkan di karang tersebut sebagai simbol kedaulatan.

Tiongkok Tuding Filipina Provokatif

Kementerian Luar Negeri Tiongkok mengklaim bahwa kapal Filipina telah memasuki “wilayah perairan Tiongkok” tanpa izin dan menyebut tindakan itu sebagai provokasi yang dapat memicu konfrontasi.

Juru bicara Kementerian Pertahanan Tiongkok menyatakan, “Kami memperingatkan keras Pemerintah Filipina untuk menghentikan pelanggaran berulang atas kedaulatan nasional kami. Tiongkok tidak akan ragu mengambil tindakan tegas demi mempertahankan haknya.”

Filipina Balas Tuduhan

Sebaliknya, Filipina menolak tudingan tersebut. Dalam konferensi pers, Presiden Ferdinand Marcos Jr. menegaskan bahwa negaranya tidak akan mundur dalam mempertahankan wilayahnya.

“Second Thomas Shoal berada dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Filipina. Kami akan terus mengirim bantuan dan logistik kepada pasukan kami, dan tidak akan tunduk pada intimidasi,” tegas Marcos.

Keterlibatan Negara Ketiga

Amerika Serikat, melalui Kedutaan Besarnya di Manila, menyatakan dukungan penuh terhadap Filipina dan memperingatkan bahwa serangan terhadap kapal sipil atau militer Filipina akan memicu respons berdasarkan perjanjian pertahanan bersama (Mutual Defense Treaty 1951).

Sementara itu, Jepang dan Australia juga menyerukan deeskalasi dan mendesak kedua belah pihak untuk menahan diri.

Ancaman Eskalasi Militer?

Pakar geopolitik menyebut bahwa insiden kali ini merupakan yang paling berbahaya sejak awal 2024. Dengan meningkatnya patroli, pergerakan kapal militer, dan manuver udara di wilayah sengketa, risiko kesalahan hitung sangat tinggi.

“Laut China Selatan bisa menjadi titik nyala konflik besar jika tidak segera dikendalikan. Komunikasi antar militer harus diperkuat,” ujar Prof. Daniel Huang, analis dari Center for Strategic Maritime Studies.